SEJARAH DESA PLUNTURAN

Ketika Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda tahun 1825, Sang pangeran mengirim  para pengikutnya untuk membangun kekuatan perang di daerah Yogyakarta ke timur termasuk ke Jawa Timur. Salah satu pengikut Pangeran Diponegoro adalah Kyai Satariman. Nama kebangsawanan dari Kyai Satariman adalah Wiring Esti.  Bersama dengan seorang tangan kanan atau abdi kinasih yang bernama Kyai Suto Menggolo -salah seorang Senopati Pangeran Diponegoro. Pada waktu itu Desa Plunturan masih berupa hutan belantara.

Sebelum membuka hutan untuk dijadikan pemukiman yang kelak dinamai Plunturan,  Kyai Satariman dan Kyai Suto Menggolo melakukan tirakat (berpuasa) 2 malam yang dimulai hari Kamis Legi dilanjutkan hari Jumat Pahing. Selama 2 malam tersebut Kyai Satariman dan Kyai Suto Menggolo babat sarana bathin (babat alam gaib) dulu. Pekerjaan membuka hutan dimulai hari Sabtu Pon tanggal 3 Sapar tahun 1753 Sapar (1825 M/1841 H). Sewaktu pembukaan hutan di plunturan , Ponorogo sudah diduduki Adipati Suryaningrat yang berdomisili di Wengker. 

Babat Desa Plunturan akhirnya ditentukan yaitu tanggal Jumat Pahing Tanggal 3 Sapar Wuku GumbrekKyai Satariman dan Kyai Suto Menggolo membuka hutan belantara menjadi sebuah pemukiman. Beliau kemudian menyiarkan agama Islam dam mendirikan pesantren. Lambat laun pesantren tersebut memiliki banyak pengikut sehingga ikut membantu membabat hutan dan mempercepat terjadinya pedesaan, pesantrennya berkembang dan akhirnya membuat tempat ibadah dengan berkembangnya pesantren yang dipimpin kedua orang tersebut. Karena itu, banyak tokoh yang iri, sehingga tokoh-tokoh yang iri tersebut mengancam akan berbuat jahat kepada Beliau.

Orang-orang yang iri selalu merekayasa untuk menghancurkan kedua tokoh tersebut dengan senjata tajam, senjata benda tumpul untuk menyerang kedua tokoh tersebut yang akhirnya senjata tersebut bisa dipegang oleh keduanya, yang akhirnya senjata bisa dipluntur dan orang jahat tersebut menyerah kepada kedua tokoh tersebut. Kejadian tersebut adalah terakhir kalinya bagi orang-orang yang mau berbuat jahat. Untuk itu kedua tokoh mengambil kesimpulan, orang akan berbuat jahat karena kesaktian tokoh mereka yang akan berbuat jahat membatalkan niatnya.

Kesaktian yang dikuasai oleh Kyai Satariman dan Kyai Suto Menggolo menjadikan senjata tajam maupun senjata tumpul tidak mempan mengenai tubuh mereka, bahkan sebaliknya senjata yang terbuat dari logam tersebut bisa dipegang dan dipluntur oleh kedua kyai. Untuk itu senjata orang yang berbuat jahat luntur dipluntur, yang akhirnya karena kesaktian kedua tokoh tersebut menemukan desa Plunturan.

Setelah itu, desa sudah dinamakan desa Plunturan dan pesantren berjalan dengan keadaan aman. Kemudian, Kyai Suto Menggolo diangkat menjadi bekel/lurah. Sedangkan, Kyai Satariman meneruskan perjalanan babat hutan ke wilayah utara. Babatan tersebut dinamakan desa Kesugihan.

Desa Plunturan telah mengalami beberapa pergantian kepala desa. Akan tetapi  yang Termuat dalam Buku Panduan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDS), hanya kapala desa yaitu: Pertama, Sumorejo pada tahun 1950-1968. Kedua, Bhikan Gondo Wiyono Pada tahun 1968-2006. Ketiga, Dwi Bintoro, ST pada tahun 2007-Sekarang.